BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Moral berasal dari kata Latin “mos”
(moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai, atau tata
cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan
melakukan peraturan, nilai-nilai dan prinsip moral. Nilai-nilai moral itu
seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan
keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, larangan
berjudi, mencuri, berzina, membunuh dan
meminum khamar. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila
tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung
tinggi oleh kelompok sosialnya.
Sejalan dengan perkembangan social, perkembangan moral
keagamaan mulai disadari bahwa terdapat aturan-aturan perilaku yang boleh,
harus atau terlarang untuk melakukannya. Aturan-aturan perilaku yang boleh atau
tidak boleh disebut moral.
Proses
penyadaran moral tersebut berangsur tumbuh melalui interaksi dari lingkungannya
di
mana ia mungkin mendapat larangan,
suruhan, pembenaran atau persetujuan, kecaman atau atau celaan, atau merasakan
akibat-akibat tertentu yang mungkin menyenangkan atau memuaskan
mungkin
pula mengecewakan dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Dalam penulisan
makalah ini akan dibahas bagaimana tahap dan tingkat perkembangan moralitasanak,
hubungan antara perkembangan moral dan intelektual anak perkembangan keagamaan anak,
serta proses penghayatan keagamaan anak.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
tingkat dan tahapan perkembangan moralitas anak?
2.
Bagaimana
hubungan antara perkembangan moral dan intelektual pada anak?
3. Bagaimana tahapan perkembangan penghayatan keagamaan
anak?
4. Bagaimana proses pertumbuhan
pengahayatan keagamaan pada anak?
C. Prosedur Pemecahan Masalah
Pemecahan
masalah dalam makalah ini menggunakan prosedur sebagai berikut: mengumpulkan
data tertulis dari sumber-sumber dan pendapat para tokoh untuk menjawab rumusan
masalah, reduksi data dan menyimpulkan data.
D. Sistematika Uraian
Sistematika
uraian makalah ini terdiri dari empat bagian, yaitu pertama, pendahuluan yang
meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, prosedur pemecahan masalah
dan sistematika uraian. Kedua, isi atau kajian teori dari perkembangan sosial
anak berdasarkan beberapa buku sumber. Ketiga, kesimpulan dan implikasinya
terhadap pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
MORAL DAN AGAMA ANAK
A.
Tingkat dan Tahapan Perkembangan Moralitas
Bayi tidak memiliki hirarki nilai dan suara hati. Bayi
tergolong nonmoral, tidak bermoral maupun tidak amoral, dalam artian bahwa
perilakunya tidak dibimbing nilai-nilai moral. Lambat laun ia akan mempelajari
kode moral dari orang tua dan kemudian dari guru-guru dan teman-teman bermain
dan juga ia belajar pentingnya mengikuti kode-kode moral.
Belajar berperilaku moral yang diterima oleh sekitarnya
merupakan proses yang lama dan lambat. Tetapi dasar-dasarnya diletakkan dalam
masa bayi dan berdasarkan dasar-dasar inilah bayi membangun kode moral moral
yang membimbing perilakunya bila telah menjadi besar nantinya.
Karena keterbatasan kecerdasannya, bayi menilai besar atau
salahnya suatu tindakan menurut kesenangan atau kesakitan yang ditimbulkannya
dan bukan menurut baik dan buruknya efek suatu tindakan terhadap orang lain.
karena itu, bayi menganggap suatu tindakan salah hanya bila ia merasakan
sendiri akibat buruknya. Bayi tidak memiliki rasa bersalah karena kurang
memiliki norma yang pasti tentang benar dan salah. Bayi tidak merasa bersalah
kalau mengambil benda-benda milik orang lain karena tidak memiliki konsep
tentang hak milik pribadi.
Bayi
berada dalam tahap perkembangan moral yang oleh Piaget (Hurlock, 1980) disebut
moralitas dengan paksaan (preconventional level) yang merupakan tahap pertama
dari tiga tahapan perkembangan moral. Tahap ini berakhir sampai usia tujuh
sampai delapan tahun dan ditandai oleh kepatuhan otomatis kepada kepatuhan
otomatis kepada aturan-aturan tanpa penalaran atau penilaian.
Apabila awal masa kanak-kanak akan berakhir, konsep moral
anak tidak lagi sesempit dan sekhusus sebelumnya, anak yang lebih besar lambat
laun memperluas konsep social sehingga mencakup situasi apa saja, lebih
daripada hanya situasi khusus. Di samping itu, anak yang lebih besar menemukan
bahwa kelompok sosial terlibat dalam berbagai tingkat kesungguhan pada pelbagai
macam perbuatan. Pengetahuan ini kemudian digabungkan dalam konsep moral
Menurut Piaget, antara usia lima dan dua belas tahun konsep
anak mengenai keadilan sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras tentang
benar dan salah, yang dipelajari dari orang tua, berubah dan anak mulai
memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral. Jadi
menurut Piaget, relativisme moral menggantikan moral yang kaku. Misalnya bagi
anak lima tahun, berbohong selalu buruk, sedangkan anak yang lebih besar bahwa
dalam beberapa situasi, berbohong dibenarkan, dan oleh karena itu, berbohong
tidak selalu buruk.
Kohlberg memperluas teori Piaget dan menamakan tingkat kedua
dari perkembangan moral akhir masa kanak-kanak sebagai tingkat moralitas
konvensional (conventional level) atau moralitas dari aturan-aturan dan
penyesuaian konvensional. Dalam tahap pertama dari tingkat ini yang disebutkan
Kohlberg moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati
orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik. Dalam tahap
kedua, Kohlberg mengatakan bahwa kalau kelompok social menerima
peraturan-peraturan yang sesuai bagi semua anggota kelompok, ia harus
menyesuaikan diri dengan peraturan untuk menghindari penolakan kelompok dan
celaan.
Tahap perkembangan ketiga, moralitas pasca konvensional
(postconventional). Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat
kepada orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.
B.
Hubungan Perkembangan Moralitas
dengan Intelektual
Perkembangan moral pada awal masa kanak-kanak masih dalam
tingkat yang rendah. Hal ini disebabkan karena perkembangan intelektual
anak-anak belum mencapai titik dimana ia dapat mempelajari atau menerapkan
prinsip-prinsip abstrak tentang yang benar dan salah. Ia juga tidak mempunyai
dorongan untuk mengikuti peraturan-peraturan karena tidak mengerti manfaatnya sebagai
anggota kelompok social.
Karena tidak mampu mengerti masalah standar moral, anak-anak
harus belajarberperilaku moral dalam berbagai situasi yang khusus. Ia hanya
belajar bagaimana bertindak tanpa mengetahui mengapa. Dan karena ingatan
anak-anak, sekalipun anak-anak sangat cerdas, cenderung kurang baik, maka
belajar bagaimana berperilaku social yang baik merupakan proses yang panjang
dan sulit. Anak-anak dilarang melakukan sesuatu pada suatu hari, tetapi pada
keesokan harinya atau dua hari sesudahnya mungkin ia lupa. Jadi anggapan orang
dewasa sebagai tindakan tidak patuh seringkali hanyalah merupakan masalah lupa.
Menurut Conger, terdapat hubungan yang sangat erat antara
perkembangan kesadaran moralitas dengan perkembangan intelektual. Ia
menunjukkan bahwa tiga level perkembangan kesadaran moral itu sejalan dengan
periode perkembangan kognitif dari Piaget.
Selanjutnya Hurlock menjelaskan bahwa anak yang mempunyai IQ
tinggi cenderung lebih matang dalam penilaian moral daripada anak yang tingkat
kecerdasannya lebih rendah, dan anak perempuan cenderung membentuk penilaian
moral yang lebih matang daripada anak laki-laki.
C.
Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Allah Swt,
adalah dia dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan) untuk mengenal Allah dan
melakukan ajaran-Nya. Dengan kata lain, manusia dikaruniai insting religius
(naluri beragama). Karena memiliki fitrah ini, manusia dijuluki sebagai “Homo
Devinans” dan “Homo religious” yaitu makhluk yang bertuhan dan beragama.
Dengan kehalusan dan fitrah tadi, pada saat tertentu,
sesorang setidak-tidaknya pasti mengalami, mempercayai bahkan meyakini dan
menerimanya tanpa keraguan, bahwa di luar dirinya ada suatu kekuatan yang Maha
Agung yang melebihi apapun termasuk dirinya. Penghayatan seperti itulah oleh
William James (Gardner Murphy,1967) disebut sebagai pengalaman religi atau
keagamaan (the existence of great power) melainkan juga mengakui-Nya sebagai
sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata hidup manusia dan alam
semesta raya ini. Karenanya, manusia memenuhi aturan itu dengan penuh
kesadaran, ikhlas disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual baik secara
ritual maupun kolektif, baik secara simbolik maupun dalam bentuk nyata dalam
hidup sehari-hari.
1. Tahapan Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Sejalan dengan perkembangan kesadaran moralitas,
perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan
intelektual di samping emosional dan volisional (konatif), mengalami
perkembangan. Para ahli sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan
penghayatan keagamaan dapat dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif
menunjukkan karakteristik yang berbeda. Tahapannya adalah sebagai berikut :
a. Pertama. Masa Kanak-kanak (sampai tujuh tahun).
Tanda-tandanya sebagai berikut :
(1) Sikap keagaman reseptif meskipun banyak bertanya
(1) Sikap keagaman reseptif meskipun banyak bertanya
(2) Pandangan ke-Tuhanan yang anthromorph
(dipersonifikasikan)
(3) Penghayatan secara rohaniah
masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau
partisipasi dalam berbagai kegiatan ritual.
(4) Hal ke-Tuhanan secara
ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf kemampuan
kognitifnya yang masih bersifat egosentric (memandang segala sesuatu dari sudut
dirinya)
b.
Kedua. Masa Anak Sekolah
(1) Sikap keagamaan bersifat reseptif
tetapi disertai pengertian
(2) Pandangan dan faham ke-Tuhanan
diterangkan secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang bersumber
pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari eksistensi dan
keagungan-Nya.
(3) Penghayatan secara rohaniah makin
mendalam, melaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral.
c. Ketiga. Masa remaja (12-18 tahun)
yang dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan, adalah sebagai berikut :
(1) Masa remaja awal dengan tanda
antara lain sebagai berikut :
(a)
Sikap negatif disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan
orang-orang beragama secara hypocrit yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu
sama dengan perbuatannya.
(b) pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
(b) pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
(c)
Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptik (diliputi kewas-wasan) sehingga
banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya
dengan penuh kepatuhan.
(2) Masa remaja akhir yang ditandai
antara lain ;
(a)
sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan
intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelang dewasa;
(b) Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
(b) Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
(c)
Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi dan
merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan
manusia penganutnya, yang baik dari yang tidak baik. Ia juga memahami bahwa
terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi
seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup di dunia ini.
1.
Proses Pertumbuhan Penghayatan
Keagamaan
Para ahli juga sependapat bahwa meskipun tahapan proses
perkembangan seperti di atas juga merupakan gejala yang universal, namun
terdapat variasi yang luas, pada tingkat individual maupun tingkat kelompok
tertentu. Peranan lingkungan sangat penting dalam pembinaan penghayatan
keagamaan ini.
Dalam ajaran agama dijelaskan bahwa pada dasarnya manusia
itu baik dan memiliki potensi beragama, maka keluarganyalah yang akan mewarnai
perkembangan agamanya itu. Keluarga hendaknya menciptakan lingkungan psikologis
yang mendukung pembentukan karakter anak dalam menjalankan ajaran agamanya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bayi berada dalam tahap perkembangan moral yang oleh Piaget
(Hurlock, 1980) disebut moralitas dengan paksaan (preconventional level) yang
merupakan tahap pertama dari tiga tahapan perkembangan moral. Kohlberg
memperluas teori Piaget dan menamakan tingkat kedua dari perkembangan moral
akhir masa kanak-kanak sebagai tingkat moralitas konvensional (conventional
level) atau moralitas dari aturan-aturan dan penyesuaian konvensional. Dalam
tahap pertama dari tingkat ini yang disebutkan Kohlberg moralitas anak baik,
anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati orang
lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik.
Tahap perkembangan ketiga, moralitas pasca konvensiona(postconventional).
Dalam
tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain danbukan
pada keinginan yang bersifat pribadi.
perkembangan penghayatan keagamaan dapat dibagi dalam tiga
tahapan yang secara kualitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Tahapannya
adalah sebagai berikut :
b.
Pertama. Masa Kanak-kanak (sampai tujuh tahun). Tanda-tandanya sebagai berikut
:
(1)
Sikap keagaman reseptif meskipun banyak bertanya
(2) Pandangan ke-Tuhanan yang anthromorph
(dipersonifikasikan)
(3) Penghayatan secara rohaniah masih
superficial (belum mendalam)
(4) Hal ke-Tuhanan secara
ideosyncritic yang masih bersifat egosentric (memandang segala sesuatu dari
sudut dirinya)
b.
Kedua. Masa Anak Sekolah
(1) Sikap keagamaan bersifat reseptif
tetapi disertai pengertian
(2) Pandangan dan faham ke-Tuhanan
diterangkan secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang bersumber
pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari eksistensi dan
keagungan-Nya.
(3) Penghayatan secara rohaniah
makin mendalam, melaksanakan kegiatan ritual diterima
sebagai
keharusan moral.
c. Ketiga. Masa remaja (12-18 tahun)
yang dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan, adalah sebagai berikut :
(1)
Masa remaja awal dengan tanda antara lain sebagai berikut :
(a) Sikap negatif disebabkan alam
pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hypocrit
yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu sama dengan perbuatannya.
(b) pandangan dalam hal
ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai
konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau
bertentangan satu sama lain.
(c) Penghayatan rohaniahnya
cenderung skeptik (diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan
berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
(2)
Masa remaja akhir yang ditandai antara lain ;
(a) sikap kembali, pada umumnya,
kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat
menjadi pegangan hidupnya menjelang dewasa;
(b) Pandangan dalam hal
ke-Tuhanannya dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
(c) Penghayatan rohaniahnya kembali
tenang setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan
antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik
dari yang tidak baik. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan
jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang
hidup di dunia ini.
B. Implikasi Terhadap Pendidikan
Dengan memahami perkembangan moral keagamaan anak diharapkan
bagi para pendidik untuk dapat berupaya secara optimal membantu mengembangkan
potensi moral dan keagamaan anak. Karena, semakin banyak pengetahuan tentang
moral keagamaan anak, maka akan semakin baik kita membimbing moral dan
keagamaan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Hurlock, Elizabeth. (2002). Psikologi Perkembangan ; Suatu
Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga
Peterson,
Candida. ( 1996 ). Looking Forward
Through The Lifespan; Developmental Psychology. Australia : Prentice Hall.
Sunarto
& Agung, Hartono. (2002). Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta : PT.
RinekaCipta
Syamsudin, Abin M. (2005). Psikologi Kependidikan. Bandung : Remaja
Syamsudin, Abin M. (2005). Psikologi Kependidikan. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Yusuf, Syamsu. (2000). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung
Yusuf, Syamsu. (2000). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung
RosdaKarya.
Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika. (2005). Landasan Bimbingan dan
Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika. (2005). Landasan Bimbingan dan
Konseling.Bandung: Rosda Karya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar