MORAL
DAN AGAMA ANAK
A.
Tingkat dan Tahapan Perkembangan
Moralitas
Manusia
merupakan makhluk etis atau makhluk yang mampu memahami kaidah-kaidah moral dan
mampu menjadikannya sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap, dan berperilaku.
Kemampuan seperti di atas bukan merupakan kemampuan bawaan melainkan harus
diperoleh melalui proses belajar. Anak dapat mengalami perkembangan moral jika
dirinya mendapatkan pengalamanan bekenaan dengan moralitas. Perkembangan moral
anak ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami aturan, norma, dan etika
yang berlaku. Mengingat moralitas merupakan factor penting dalam kehidupan
manusia maka manusia sejak dini harus mendapatkan pengaruh yang positif untuk
menstimulasi perkembangan moralnya.
Bayi tidak memiliki hirarki nilai
dan suara hati. Bayi tergolong nonmoral, tidak bermoral maupun tidak amoral,
dalam artian bahwa perilakunya tidak dibimbing nilai-nilai moral. Lambat laun
ia akan mempelajari kode moral dari orang tua dan kemudian dari guru-guru dan
teman-teman bermain dan juga ia belajar pentingnya mengikuti kode-kode moral. Belajar
berperilaku moral yang diterima oleh sekitarnya merupakan proses yang lama dan
lambat. Tetapi dasar-dasarnya diletakkan dalam masa bayi dan berdasarkan
dasar-dasar inilah bayi membangun kode moral moral yang membimbing perilakunya
bila telah menjadi besar nantinya.
Karena keterbatasan kecerdasannya,
bayi menilai besar atau salahnya suatu tindakan menurut kesenangan atau
kesakitan yang ditimbulkannya dan bukan menurut baik dan buruknya efek suatu
tindakan terhadap orang lain. karena itu, bayi menganggap suatu tindakan salah
hanya bila ia merasakan sendiri akibat buruknya. Bayi tidak memiliki rasa
bersalah karena kurang memiliki norma yang pasti tentang benar dan salah. Bayi
tidak merasa bersalah kalau mengambil benda-benda milik orang lain karena tidak
memiliki konsep tentang hak milik pribadi[1].
Bayi berada dalam tahap perkembangan
moral yang oleh Piaget (Hurlock, 1980) disebut moralitas dengan paksaan
(preconventional level) yang merupakan tahap pertama dari tiga tahapan
perkembangan moral. Tahap ini berakhir sampai usia tujuh sampai delapan tahun
dan ditandai oleh kepatuhan otomatis kepada kepatuhan otomatis kepada
aturan-aturan tanpa penalaran atau penilaian.[2]
Apabila awal masa kanak-kanak akan
berakhir, konsep moral anak tidak lagi sesempit dan sekhusus sebelumnya, anak
yang lebih besar lambat laun memperluas konsep social sehingga mencakup situasi
apa saja, lebih daripada hanya situasi khusus. Di samping itu, anak yang lebih
besar menemukan bahwa kelompok sosial terlibat dalam berbagai tingkat
kesungguhan pada pelbagai macam perbuatan. Pengetahuan ini kemudian digabungkan
dalam konsep moral
Menurut Piaget, antara usia lima dan
dua belas tahun konsep anak mengenai keadilan sudah berubah. Pengertian yang
kaku dan keras tentang benar dan salah, yang dipelajari dari orang tua, berubah
dan anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran
moral. Jadi menurut Piaget, relativisme moral menggantikan moral yang kaku.
Misalnya bagi anak lima tahun, berbohong selalu buruk, sedangkan anak yang
lebih besar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong dibenarkan, dan oleh karena
itu, berbohong tidak selalu buruk. Kohlberg memperluas teori Piaget dan menamakan
tingkat kedua dari perkembangan moral akhir masa kanak-kanak sebagai tingkat
moralitas konvensional (conventional level) atau moralitas dari aturan-aturan
dan penyesuaian konvensional. Dalam tahap pertama dari tingkat ini yang
disebutkan Kohlberg moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk
mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik.
Dalam tahap kedua, Kohlberg mengatakan bahwa kalau kelompok social menerima
peraturan-peraturan yang sesuai bagi semua anggota kelompok, ia harus
menyesuaikan diri dengan peraturan untuk menghindari penolakan kelompok dan
celaan. Tahap perkembangan ketiga,
moralitas pasca konvensional (postconventional). Dalam tahap ini, moralitas
didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain dan bukan pada keinginan yang
bersifat pribadi.
B.
Hubungan Perkembangan Moralitas dengan Intelektual
Perkembangan moral pada awal masa
kanak-kanak masih dalam tingkat yang rendah. Hal ini disebabkan karena
perkembangan intelektual anak-anak belum mencapai titik dimana ia dapat
mempelajari atau menerapkan prinsip-prinsip abstrak tentang yang benar dan
salah. Ia juga tidak mempunyai dorongan untuk mengikuti peraturan-peraturan
karena tidak mengerti manfaatnya sebagai anggota kelompok social.[3]
Karena tidak mampu mengerti masalah standar moral, anak-anak harus belajar
berperilaku moral dalam berbagai situasi yang khusus. Ia hanya belajar
bagaimana bertindak tanpa mengetahui mengapa. Dan karena ingatan anak-anak,
sekalipun anak-anak sangat cerdas, cenderung kurang baik, maka belajar
bagaimana berperilaku social yang baik merupakan proses yang panjang dan sulit.
Anak-anak dilarang melakukan sesuatu pada suatu hari, tetapi pada keesokan
harinya atau dua hari sesudahnya mungkin ia lupa. Jadi anggapan orang dewasa
sebagai tindakan tidak patuh seringkali hanyalah merupakan masalah lupa. Menurut Conger, terdapat hubungan yang sangat
erat antara perkembangan kesadaran moralitas dengan perkembangan intelektual.
Ia menunjukkan bahwa tiga level perkembangan kesadaran moral itu sejalan dengan
periode perkembangan kognitif dari Piaget.
Selanjutnya Hurlock menjelaskan bahwa anak yang mempunyai IQ tinggi cenderung lebih matang dalam penilaian moral daripada anak yang tingkat kecerdasannya lebih rendah, dan anak perempuan cenderung membentuk penilaian moral yang lebih matang daripada anak laki-laki.[4]
Selanjutnya Hurlock menjelaskan bahwa anak yang mempunyai IQ tinggi cenderung lebih matang dalam penilaian moral daripada anak yang tingkat kecerdasannya lebih rendah, dan anak perempuan cenderung membentuk penilaian moral yang lebih matang daripada anak laki-laki.[4]
C. Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Salah satu kelebihan manusia sebagai
makhluk Allah Swt, adalah dia dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan) untuk
mengenal Allah dan melakukan ajaran-Nya. Dengan kata lain, manusia dikaruniai
insting religius (naluri beragama). Karena memiliki fitrah ini, manusia
dijuluki sebagai “Homo Devinans” dan “Homo religious” yaitu makhluk yang
bertuhan dan beragama.
Dengan kehalusan dan fitrah tadi, pada saat tertentu, sesorang setidak-tidaknya pasti mengalami, mempercayai bahkan meyakini dan menerimanya tanpa keraguan, bahwa di luar dirinya ada suatu kekuatan yang Maha Agung yang melebihi apapun termasuk dirinya. Penghayatan seperti itulah oleh William James (Gardner Murphy,1967) disebut sebagai pengalaman religi atau keagamaan (the existence of great power) melainkan juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini. Karenanya, manusia memenuhi aturan itu dengan penuh kesadaran, ikhlas disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual baik secara ritual maupun kolektif, baik secara simbolik maupun dalam bentuk nyata dalam hidup sehari-hari.[5]
Dengan kehalusan dan fitrah tadi, pada saat tertentu, sesorang setidak-tidaknya pasti mengalami, mempercayai bahkan meyakini dan menerimanya tanpa keraguan, bahwa di luar dirinya ada suatu kekuatan yang Maha Agung yang melebihi apapun termasuk dirinya. Penghayatan seperti itulah oleh William James (Gardner Murphy,1967) disebut sebagai pengalaman religi atau keagamaan (the existence of great power) melainkan juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini. Karenanya, manusia memenuhi aturan itu dengan penuh kesadaran, ikhlas disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual baik secara ritual maupun kolektif, baik secara simbolik maupun dalam bentuk nyata dalam hidup sehari-hari.[5]
D. Tahapan Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Sejalan dengan perkembangan
kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya
dengan perkembangan intelektual di samping emosional dan volisional (konatif),
mengalami perkembangan. Para ahli sependapat bahwa pada garis besarnya
perkembangan penghayatan keagamaan dapat dibagi dalam tiga tahapan yang secara
kualitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Tahapannya adalah sebagai
berikut :
a. Pertama. Masa Kanak-kanak (sampai
tujuh tahun). Tanda-tandanya sebagai berikut :
(1) Sikap keagaman reseptif meskipun banyak bertanya
(1) Sikap keagaman reseptif meskipun banyak bertanya
(2) Pandangan ke-Tuhanan yang anthromorph
(dipersonifikasikan)
(3) Penghayatan secara rohaniah
masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau
partisipasi dalam berbagai kegiatan ritual.
(4) Hal ke-Tuhanan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf kemampuan kognitifnya yang masih bersifat egosentric (memandang segala sesuatu dari sudut dirinya)
(4) Hal ke-Tuhanan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf kemampuan kognitifnya yang masih bersifat egosentric (memandang segala sesuatu dari sudut dirinya)
b. Kedua. Masa Anak Sekolah
(1) Sikap keagamaan bersifat reseptif
tetapi disertai pengertian
(2) Pandangan dan faham ke-Tuhanan diterangkan secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang bersumber pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari eksistensi dan keagungan-Nya.
(2) Pandangan dan faham ke-Tuhanan diterangkan secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang bersumber pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari eksistensi dan keagungan-Nya.
(3) Penghayatan secara rohaniah
makin mendalam, melaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral.
c. Ketiga. Masa remaja (12-18 tahun)
yang dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan, adalah sebagai beriku[6]t
:
(1) Masa remaja awal dengan tanda
antara lain sebagai berikut :
(a) Sikap negatif disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hypocrit yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu sama dengan perbuatannya.
(a) Sikap negatif disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hypocrit yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu sama dengan perbuatannya.
(b) pandangan dalam hal
ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai
konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau
bertentangan satu sama lain.
(c) Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptik (diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
(c) Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptik (diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
(2) Masa remaja akhir yang ditandai
antara lain ;
(a) sikap kembali, pada umumnya,
kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat
menjadi pegangan hidupnya menjelang dewasa;
(b) Pandangan dalam hal
ke-Tuhanannya dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
(c) Penghayatan rohaniahnya kembali
tenang setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan
antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik
dari yang tidak baik. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan
jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang
hidup di dunia ini.
E.
Proses Pertumbuhan Penghayatan Keagamaan
Pengembangan
moral anak usia dini dilakukan agar terbentuk perilaku moral. Pembentukan
perilaku moral pada anak, khususnya pada anak usia dini memerlukan perhatian
serta pemahaman terhadap dasar-dasar serta berbagai kondisi yang mempengaruhi
dan menenytukan perilaku moral. Ada 3 strategi dalam pembentukan perilaku moral
pada anak usia dini, yaitu: strategi latihan dan pembiasaan, 2. Strategi
aktivitas dan bermain, dan 3. Strategi pembelajaran
Para ahli juga sependapat bahwa
meskipun tahapan proses perkembangan seperti di atas juga merupakan gejala yang
universal, namun terdapat variasi yang luas, pada tingkat individual maupun
tingkat kelompok tertentu. Peranan lingkungan sangat penting dalam pembinaan
penghayatan keagamaan ini. Dalam ajaran agama dijelaskan bahwa pada dasarnya
manusia itu baik dan memiliki potensi beragama, [7]
F. Pengembangan Nilai-nilai Agama
Anak Usia Dini
Menurut Zakiah Darajat (dalam Lilis
Suryani dkk., 2008: 1.9), agama suatu keimanan yang diyakini oleh pikiran,
diresapkan oleh perasaan, dan dilaksanakan dalam tindakan, perkataan, dan
sikap. Perkembangan nilai-nilai agama artinya perkembangan dalam kemampuan
memahami, mempercayai, dan menjunjung tinggi kebenaran-kebenaran yang berasal
dari Sang Pencipta, dan berusaha menjadikan apa yang dipercayai sebagai pedoman
dalam bertutur kata, bersikap dan bertingkah laku dalam berbgaia situasi.
Pemahaman anak akan nilai-nilai
agama menurut Ernest Harms berlangsung melalui 3 tahap, yaitu sebagai berikut.
1. Tingkat
Dongeng (The Fairy Tale Stage)
Tingkat ini dialami oleh anak yang
berusia 3 – 6 tahun. Ciri-ciri perilaku anak pada masa ini masih banyak
dipengaruhi oleh daya fantasinya sehingga dalam menyerap materi ajar agama anak
juga masih banyak menggunakan daya fantasinya.
2. Tingkat
Kenyataan (The Realistic Stage)
Tingkat ini dialami anak usia 7 – 15
tahun. Pada masa ini anak sudah dapat menyerap materi ajar agama berdasarkan
kenyataan-kenyataan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Anak sudah
tertarik pada apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Segala bentuk
tindak amal keagamaan mereka ikuti dan tertarik untuk mempelajari lebih jauh.
3. Tingkat
Individu (The Individual Stage)
Tingkat individu dialami oleh anak
yang berusia 15 ke atas. Konsep keagaamaan yang individualistic ini terbagi
atas tiga bagian, yaitu: a. konsep keagamaan yang konvensional dan konservatif
yang dipengaruhi oleh sebagian kecil fantasi, b. konsep keagamaan yang murni
dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal, dan c. konsep keagamaan
yang humanistic. Agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam
menghayati ajaran agama.
Pengembangan nilai-nilai agama pada
anak harus didasarkan pada karakteristik perkembangan anak. Jika memperhatikan
pendapat Ernest Harms sebagaimana dikemukakan di atas, maka usaha pengembangan
nilai-nilai agama menjadi efektif jika dilakukan melalui cerita-cerita yang di
dalamnya terkandung ajaran-ajaran agama. Dengan demikian daya fantasi anak
berperan dalam menyerap nilai-nilai agama yang terdapat dalam cerita yang
diterimanya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bayi berada dalam tahap perkembangan
moral yang oleh Piaget (Hurlock, 1980) disebut moralitas dengan paksaan
(preconventional level) yang merupakan tahap pertama dari tiga tahapan
perkembangan moral. Kohlberg memperluas teori Piaget dan menamakan tingkat
kedua dari perkembangan moral akhir masa kanak-kanak sebagai tingkat moralitas
konvensional (conventional level) atau moralitas dari aturan-aturan dan
penyesuaian konvensional. Dalam tahap pertama dari tingkat ini yang disebutkan
Kohlberg moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati
orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik. Tahap
perkembangan ketiga, moralitas pasca konvensional (postconventional). Dalam
tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain dan bukan
pada keinginan yang bersifat pribadi. perkembangan penghayatan keagamaan dapat
dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif menunjukkan karakteristik yang
berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Havighurst, R. J. (1972). Developmental Tasks and Education. New York. Mac kay
Hurlock, Elizabeth. (2002). Psikologi Perkembangan ; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga
Peterson, Candida. ( 1996 ). Looking
Forward Through The Lifespan; Developmental Psychology. Australia : Prentice
Hall.
Sunarto & Agung, Hartono.
(2002). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Syamsudin, Abin M. (2005). Psikologi
Kependidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
[1]
Syamsudin, Abin M. (2005). Psikologi Kependidikan. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
[2]
ibid
[3] Peterson, Candida. ( 1996 ). Looking
Forward Through The Lifespan; Developmental Psychology. Australia : Prentice
Hall.
[4]
ibid
[5] Havighurst, R. J. (1972).
Developmental Tasks and Education. New York. Mac kay
[6]
Sunarto
& Agung, Hartono. (2002). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT. Rineka
Cipta
[7]
ibid