Kamis, 15 Maret 2012

MORAL DAN AGAMA ANAK




MORAL DAN AGAMA ANAK

A.   Tingkat dan Tahapan Perkembangan Moralitas
Manusia merupakan makhluk etis atau makhluk yang mampu memahami kaidah-kaidah moral dan mampu menjadikannya sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap, dan berperilaku. Kemampuan seperti di atas bukan merupakan kemampuan bawaan melainkan harus diperoleh melalui proses belajar. Anak dapat mengalami perkembangan moral jika dirinya mendapatkan pengalamanan bekenaan dengan moralitas. Perkembangan moral anak ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami aturan, norma, dan etika yang berlaku. Mengingat moralitas merupakan factor penting dalam kehidupan manusia maka manusia sejak dini harus mendapatkan pengaruh yang positif untuk menstimulasi perkembangan moralnya.
Bayi tidak memiliki hirarki nilai dan suara hati. Bayi tergolong nonmoral, tidak bermoral maupun tidak amoral, dalam artian bahwa perilakunya tidak dibimbing nilai-nilai moral. Lambat laun ia akan mempelajari kode moral dari orang tua dan kemudian dari guru-guru dan teman-teman bermain dan juga ia belajar pentingnya mengikuti kode-kode moral. Belajar berperilaku moral yang diterima oleh sekitarnya merupakan proses yang lama dan lambat. Tetapi dasar-dasarnya diletakkan dalam masa bayi dan berdasarkan dasar-dasar inilah bayi membangun kode moral moral yang membimbing perilakunya bila telah menjadi besar nantinya.

Karena keterbatasan kecerdasannya, bayi menilai besar atau salahnya suatu tindakan menurut kesenangan atau kesakitan yang ditimbulkannya dan bukan menurut baik dan buruknya efek suatu tindakan terhadap orang lain. karena itu, bayi menganggap suatu tindakan salah hanya bila ia merasakan sendiri akibat buruknya. Bayi tidak memiliki rasa bersalah karena kurang memiliki norma yang pasti tentang benar dan salah. Bayi tidak merasa bersalah kalau mengambil benda-benda milik orang lain karena tidak memiliki konsep tentang hak milik pribadi[1].

Bayi berada dalam tahap perkembangan moral yang oleh Piaget (Hurlock, 1980) disebut moralitas dengan paksaan (preconventional level) yang merupakan tahap pertama dari tiga tahapan perkembangan moral. Tahap ini berakhir sampai usia tujuh sampai delapan tahun dan ditandai oleh kepatuhan otomatis kepada kepatuhan otomatis kepada aturan-aturan tanpa penalaran atau penilaian.[2]

Apabila awal masa kanak-kanak akan berakhir, konsep moral anak tidak lagi sesempit dan sekhusus sebelumnya, anak yang lebih besar lambat laun memperluas konsep social sehingga mencakup situasi apa saja, lebih daripada hanya situasi khusus. Di samping itu, anak yang lebih besar menemukan bahwa kelompok sosial terlibat dalam berbagai tingkat kesungguhan pada pelbagai macam perbuatan. Pengetahuan ini kemudian digabungkan dalam konsep moral
Menurut Piaget, antara usia lima dan dua belas tahun konsep anak mengenai keadilan sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras tentang benar dan salah, yang dipelajari dari orang tua, berubah dan anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral. Jadi menurut Piaget, relativisme moral menggantikan moral yang kaku. Misalnya bagi anak lima tahun, berbohong selalu buruk, sedangkan anak yang lebih besar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong dibenarkan, dan oleh karena itu, berbohong tidak selalu buruk. Kohlberg memperluas teori Piaget dan menamakan tingkat kedua dari perkembangan moral akhir masa kanak-kanak sebagai tingkat moralitas konvensional (conventional level) atau moralitas dari aturan-aturan dan penyesuaian konvensional. Dalam tahap pertama dari tingkat ini yang disebutkan Kohlberg moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik. Dalam tahap kedua, Kohlberg mengatakan bahwa kalau kelompok social menerima peraturan-peraturan yang sesuai bagi semua anggota kelompok, ia harus menyesuaikan diri dengan peraturan untuk menghindari penolakan kelompok dan celaan.  Tahap perkembangan ketiga, moralitas pasca konvensional (postconventional). Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.


B. Hubungan Perkembangan Moralitas dengan Intelektual
Perkembangan moral pada awal masa kanak-kanak masih dalam tingkat yang rendah. Hal ini disebabkan karena perkembangan intelektual anak-anak belum mencapai titik dimana ia dapat mempelajari atau menerapkan prinsip-prinsip abstrak tentang yang benar dan salah. Ia juga tidak mempunyai dorongan untuk mengikuti peraturan-peraturan karena tidak mengerti manfaatnya sebagai anggota kelompok social.[3] Karena tidak mampu mengerti masalah standar moral, anak-anak harus belajar berperilaku moral dalam berbagai situasi yang khusus. Ia hanya belajar bagaimana bertindak tanpa mengetahui mengapa. Dan karena ingatan anak-anak, sekalipun anak-anak sangat cerdas, cenderung kurang baik, maka belajar bagaimana berperilaku social yang baik merupakan proses yang panjang dan sulit. Anak-anak dilarang melakukan sesuatu pada suatu hari, tetapi pada keesokan harinya atau dua hari sesudahnya mungkin ia lupa. Jadi anggapan orang dewasa sebagai tindakan tidak patuh seringkali hanyalah merupakan masalah lupa.  Menurut Conger, terdapat hubungan yang sangat erat antara perkembangan kesadaran moralitas dengan perkembangan intelektual. Ia menunjukkan bahwa tiga level perkembangan kesadaran moral itu sejalan dengan periode perkembangan kognitif dari Piaget.
Selanjutnya Hurlock menjelaskan bahwa anak yang mempunyai IQ tinggi cenderung lebih matang dalam penilaian moral daripada anak yang tingkat kecerdasannya lebih rendah, dan anak perempuan cenderung membentuk penilaian moral yang lebih matang daripada anak laki-laki.[4]

C. Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Allah Swt, adalah dia dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan) untuk mengenal Allah dan melakukan ajaran-Nya. Dengan kata lain, manusia dikaruniai insting religius (naluri beragama). Karena memiliki fitrah ini, manusia dijuluki sebagai “Homo Devinans” dan “Homo religious” yaitu makhluk yang bertuhan dan beragama.
Dengan kehalusan dan fitrah tadi, pada saat tertentu, sesorang setidak-tidaknya pasti mengalami, mempercayai bahkan meyakini dan menerimanya tanpa keraguan, bahwa di luar dirinya ada suatu kekuatan yang Maha Agung yang melebihi apapun termasuk dirinya. Penghayatan seperti itulah oleh William James (Gardner Murphy,1967) disebut sebagai pengalaman religi atau keagamaan (the existence of great power) melainkan juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini. Karenanya, manusia memenuhi aturan itu dengan penuh kesadaran, ikhlas disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual baik secara ritual maupun kolektif, baik secara simbolik maupun dalam bentuk nyata dalam hidup sehari-hari.[5]

D. Tahapan Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Sejalan dengan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual di samping emosional dan volisional (konatif), mengalami perkembangan. Para ahli sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan dapat dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Tahapannya adalah sebagai berikut :
a. Pertama. Masa Kanak-kanak (sampai tujuh tahun). Tanda-tandanya sebagai berikut :
(1) Sikap keagaman reseptif meskipun banyak bertanya
(2) Pandangan ke-Tuhanan yang anthromorph (dipersonifikasikan)
(3) Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau partisipasi dalam berbagai kegiatan ritual.
(4) Hal ke-Tuhanan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf kemampuan kognitifnya yang masih bersifat egosentric (memandang segala sesuatu dari sudut dirinya)
b. Kedua. Masa Anak Sekolah
(1) Sikap keagamaan bersifat reseptif tetapi disertai pengertian
(2) Pandangan dan faham ke-Tuhanan diterangkan secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang bersumber pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari eksistensi dan keagungan-Nya.
(3) Penghayatan secara rohaniah makin mendalam, melaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral.
c. Ketiga. Masa remaja (12-18 tahun) yang dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan, adalah sebagai beriku[6]t :
(1) Masa remaja awal dengan tanda antara lain sebagai berikut :
(a) Sikap negatif disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hypocrit yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu sama dengan perbuatannya.
(b) pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
(c) Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptik (diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
(2) Masa remaja akhir yang ditandai antara lain ;
(a) sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelang dewasa;
(b) Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
(c) Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik dari yang tidak baik. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup di dunia ini.

E. Proses Pertumbuhan Penghayatan Keagamaan
Pengembangan moral anak usia dini dilakukan agar terbentuk perilaku moral. Pembentukan perilaku moral pada anak, khususnya pada anak usia dini memerlukan perhatian serta pemahaman terhadap dasar-dasar serta berbagai kondisi yang mempengaruhi dan menenytukan perilaku moral. Ada 3 strategi dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini, yaitu: strategi latihan dan pembiasaan, 2. Strategi aktivitas dan bermain, dan 3. Strategi pembelajaran
Para ahli juga sependapat bahwa meskipun tahapan proses perkembangan seperti di atas juga merupakan gejala yang universal, namun terdapat variasi yang luas, pada tingkat individual maupun tingkat kelompok tertentu. Peranan lingkungan sangat penting dalam pembinaan penghayatan keagamaan ini. Dalam ajaran agama dijelaskan bahwa pada dasarnya manusia itu baik dan memiliki potensi beragama, [7]
F. Pengembangan Nilai-nilai Agama Anak Usia Dini
Menurut Zakiah Darajat (dalam Lilis Suryani dkk., 2008: 1.9), agama suatu keimanan yang diyakini oleh pikiran, diresapkan oleh perasaan, dan dilaksanakan dalam tindakan, perkataan, dan sikap.  Perkembangan nilai-nilai agama artinya perkembangan dalam kemampuan memahami, mempercayai, dan menjunjung tinggi kebenaran-kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta, dan berusaha menjadikan apa yang dipercayai sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap dan bertingkah laku dalam berbgaia situasi.
Pemahaman anak akan nilai-nilai agama menurut Ernest Harms berlangsung melalui 3 tahap, yaitu sebagai berikut.
1.  Tingkat Dongeng (The Fairy Tale Stage)
Tingkat ini dialami oleh anak yang berusia 3 – 6 tahun. Ciri-ciri perilaku anak pada masa ini masih banyak dipengaruhi oleh daya fantasinya sehingga dalam menyerap materi ajar agama anak juga masih banyak menggunakan daya fantasinya.
2.  Tingkat Kenyataan (The Realistic Stage)
Tingkat ini dialami anak usia 7 – 15 tahun. Pada masa ini anak sudah dapat menyerap materi ajar agama berdasarkan kenyataan-kenyataan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Anak sudah tertarik pada apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Segala bentuk tindak amal keagamaan mereka ikuti dan tertarik untuk mempelajari lebih jauh.
3.  Tingkat Individu (The Individual Stage)
Tingkat individu dialami oleh anak yang berusia 15 ke atas. Konsep keagaamaan yang individualistic ini terbagi atas tiga bagian, yaitu: a. konsep keagamaan yang konvensional dan konservatif yang dipengaruhi oleh sebagian kecil fantasi, b. konsep keagamaan yang murni dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal, dan c. konsep keagamaan yang humanistic. Agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.

Pengembangan nilai-nilai agama pada anak harus didasarkan pada karakteristik perkembangan anak. Jika memperhatikan pendapat Ernest Harms sebagaimana dikemukakan di atas, maka usaha pengembangan nilai-nilai agama menjadi efektif jika dilakukan melalui cerita-cerita yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran agama. Dengan demikian daya fantasi anak berperan dalam menyerap nilai-nilai agama yang terdapat dalam cerita yang diterimanya.  

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bayi berada dalam tahap perkembangan moral yang oleh Piaget (Hurlock, 1980) disebut moralitas dengan paksaan (preconventional level) yang merupakan tahap pertama dari tiga tahapan perkembangan moral. Kohlberg memperluas teori Piaget dan menamakan tingkat kedua dari perkembangan moral akhir masa kanak-kanak sebagai tingkat moralitas konvensional (conventional level) atau moralitas dari aturan-aturan dan penyesuaian konvensional. Dalam tahap pertama dari tingkat ini yang disebutkan Kohlberg moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik. Tahap perkembangan ketiga, moralitas pasca konvensional (postconventional). Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi. perkembangan penghayatan keagamaan dapat dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda.















DAFTAR PUSTAKA

Havighurst, R. J. (1972). Developmental Tasks and Education. New York. Mac kay

Hurlock, Elizabeth. (2002). Psikologi Perkembangan ; Suatu Pendekatan       Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga

Peterson, Candida. ( 1996 ). Looking Forward Through The Lifespan; Developmental Psychology. Australia : Prentice Hall.

Sunarto & Agung, Hartono. (2002). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Syamsudin, Abin M. (2005). Psikologi Kependidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.




[1] Syamsudin, Abin M. (2005). Psikologi Kependidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
[2] ibid
[3] Peterson, Candida. ( 1996 ). Looking Forward Through The Lifespan; Developmental Psychology. Australia : Prentice Hall.
[4] ibid
[5] Havighurst, R. J. (1972). Developmental Tasks and Education. New York. Mac kay

[6] Sunarto & Agung, Hartono. (2002). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT. Rineka Cipta
[7] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar